Bisnis.com, JAKARTA -- DPR akhirnya mengesahkan ratifikasi perjanjian ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Singapura pada hari ini. Ratifikasi perjanjian tersebut menjadi babak baru dalam proses penegakan hukum, terutama upaya untuk memburu para buron kasus kejahatan yang selama ini hidup nyaman di Singapura.
Adapun ratifikasi ekstradisi ditandai dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan yang akan disahkan dalam rapat paripurna DPR pada hari ini, Kamis (15/12/2022).
RUU ekstradisi merupakan hasil tindak lanjut Leaders Retreat antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana Menteri Singapure Lee Hsien Long di Bintan, Kepulauan Riau pada Februari 2022.
Dalam pertemuan itu, Jokowi dan PM Lee sepakat untuk kembali membahas isu-isu strategis antara dua negara tersebut, termasuk isu ekstradisi buron asal Indonesia.
Ekstradisi menjadi isu yang paling sensitif salam hubungan diplomatik kedua negara. Aparat penegak hukum di Indonesia kerap mengalami kendala karena setidaknya sebelum UU ini disahkan, Indonesia dan Singapura sama sekali tidak memiliki perjanjian ekstradisi.
Ketiadaan aturan tersebut kerap dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan atau buron penegak hukum Indonesia untuk bersembunyi di Singapura. Para buron, termasuk para obligor Bantuan Likuiditas Indonesia (BLBI), banyak yang memiliki alamat bahkan aset di negeri singa tersebut. Aset-aset itu telah beranak pinak dengan nilai yang cukup fantastis.
Baca Juga
Dalam catatan Bisnis perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura telah dirintis oleh Indonesia sejak tahun 1972. Sempat timbul tenggelam, perjanjian ekstradisi mulai diupayakan pemerintah Indonesia pada tahun 1998.
Pada 16 Desember 2002, bertempat di Istana Bogor, Presiden Megawati Soekarnoputri dan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Thong melakukan pertemuan bilateral guna membahas hal terkait pengembangan kerja sama kedua negara di segala bidang.
Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah tercapainya kesepakatan bahwa Indonesia dan Singapura akan menyusun action plan/rencana aksi pembentukan Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura.
Gagal di Era SBY
Upaya untuk meratifikasi perjanjian tersebut kembali dilakukan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada tanggal 27 April 2007, bertempat di Istana Tampaksiring, Bali, Indonesia, Menteri Luar Negeri Indonesia (Hasan Wirajuda) dan Menteri Luar Negeri Singapura (George Yeo) menandatangani Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura yang disaksikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Namun perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura yang ditandatangani pada tahun 2007 tersebut tidak dapat diberlakukan oleh kedua negara karena Pemerintah Indonesia dan Singapura belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Adapun alasan kedua negara belum meratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia - Singapura tersebut adalah karena Pemerintah Indonesia dan Singapura sepakat agar pengesahan perjanjian ekstradisi dilakukan secara paralel dengan pengesahan Perjanjian Kerja Sama Keamanan Indonesia – Singapura.
Dalam perkembangannya, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 2004 – 2009 dalam Rapat Kerja dengan Menteri Luar Negeri pada 25 Juni 2007, justru menolak untuk mengesahkan Perjanjian Kerja Sama Keamanan yang telah ditandatangani sehingga berdampak pada proses ratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura.
Gagal di era SBY, pemerintahan Jokowi kembali berupaya untuk menyelesaikan perjanjian tersebut. Pada 8 Oktober 2019 digelar Leaders’ Retreat Indonesia – Singapura membahas kembali tentang Persetujuan Penyesuaian Batas Wilayah Informasi Penerbangan Indonesia - Singapura dan Perjanjian Kerja Sama Keamanan.
Leaders’ Retreat adalah pertemuan tahunan antara Presiden Indonesia dengan Perdana Menteri Singapura guna membahas kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua negara. Leaders’ Retreat dimulai pada tahun 2016 hingga saat ini.
Untuk menindaklanjuti hasil Leaders’ Retreat 2019, Menteri Hukum dan HAM RI kemudian mengusulkan agar Perjanjian Ekstradisi yang sejak awal diparalelkan dengan Perjanjian Kerja Sama Keamanan juga dibahas kembali dalam framework for discussion.
Tujuh Pengemplang BLBI
Pemerintah Indonesia saat ini tengah memburu delapan pengemplang BLBI yang ditengarai telah bermukim di negeri jiran tesebut.
KBRI Singapura bahkan telah mengirim surat panggilan kepada 8 obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam catatan Bisnis, pihak KBRI menjelaskan bahwa dari 8 surat yang disampaikan, hanya 5 yang sampai ke tangan para pengemplang BLBI. Kelimanya antara lain Sjamsul Nursalim, Setiawan Harjono, Sujanto Gondokusumo, Trijono Gondokusumo dan Kwan Benny Ahadi.
Hanya saja, Sjamsul Nursalim tercatat telah melunasi utang BLBI terkait Bank Dewa Rutji. Status Sjamsul sebagai buron penegak hukum juga sudah dicabut.
Sementara 3 surat lainnya yakni Kaharudin Ongko, Agus Anwar dan Hendrawan Harjono dikembalikan karena orang yang dimaksud tidak berada di alamat tersebut.
"Kami telah berkoordinasi dengan Satgas BLBI di Jakarta, dan telah mengirimkan surat-surat pemanggilan kepada mereka sesuai permintaan satgas," ungkap Pensosbud KBRI Singapura Ratna Lestari kepada Bisnis, Rabu (15/9/2021).
Dalam catatan Satgas, Agus Anwar memiliki tempat tinggal di 391A Orchad Road Tower A#24-01 Ngee Ann City, Singapore 238873. Kaharudin Ongko juga memiliki alamat di kawasan Peterson Hill, Singapura.
Sementara, duo Bank Aspac yakni Setiawan dan Hendrawan masing-masing memiliki alamat di Peninsula Plaza, North Bridge Road, Singapura dan 4 Shenton Way, SGX Centre 2, Singapura.
Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono, duo petinggi Bank Asia Pacifik (Aspac), dipanggil terkait hak tagih BLBI senilai Rp3,57 triliun.
Sementara Agus Anwar adalah eks pemilik Bank Pelita. Dia dipanggil terkait tagihan BLBI hampir Rp740 miliar.
Adapun pemanggilan Kaharudin Ongko oleh Satgas terkait hak tagih BLBI senilai Rp8,2 triliun. Jumlah itu terdiri atas hak tagih atas nama Bank Arya Panduartha senilai Rp359,4 miliar dan Bank Umum Nasional senilai Rp7,8 triliun.
Dalam perkembangannya, sebagian besar obligor telah memenuhi panggilan Satgas BLBI baik datang langsung maupun diwakili oleh penasihat hukumnya, termasuk Sjamsul Nursalim.
Berikut daftar buruan Satgas BLBI:
1) Setiawan Harjono (Bank Aspac) nilai tagihan Rp3,57 triliun.
2) Hendrawan Harjono (Bank Aspac).
3) Kaharudin Ongko (Bank Arya Panduartha & Bank Umum Nasional) nilai tagihan Rp8,2 triliun.
4) Agus Anwar (Bank Pelita Istismarat) nilai tagihan hampir Rp740 miliar.
5) Sujanto Gondokusumo (Bank Dharmala) Rp822,2 miliar.
6) Trijono Gondokusumo (Bank Putera Surya Perkasa) Rp4,8 triliun.
7) Kwan Benny Ahadi (Bank Orient) Rp143,3 miliar.